Homepage/ Gaya Hidup Jilbab Bukan Kewajiban Tapi Pilihan. Follow Us; August 3, 2022 August 3, 2022 by Alif Asrof Husin. Jika ada orang atau seorang ulama yang mengkritisi jilbab dengan keilmuaan tinggi, bukan anti jilbab tetapi memberi pencerahan dan mengkritisi lalu berkata bahwa jilbab bukan kewajiban tetapi pilihan, maka orang atau
Selasa 27 Oktober 2015. Jilbab (Hijab) itu Wajib Bagi Wanita Muslim
Berikutini merupakan lima fakta dari kasus pemaksaan penggunaan jilbab kepada siswi yang merupakan atlet sepatu roda tersebut. 1. Siswi mengalami depresi. Menurut Aliansi Masyarakat Peduli Pendidikan Yogyakarta (AMPPY), siswi itu mengalami depresi usai dipaksa memakai hijab. Adapun pemaksaan terjadi saat Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS).
KomentarArtikel : X : pake jilbab bagi muslimah itu pilihan Y : salah, kewajiban donk X : ehpilihan Y : kewajiban X : pilihan Y : kewajiban X : pilihan Y :
AssalamualaikumSahabat Fastabiq💕 Jilbab Kewajiban Bukan Pilihan Berkenaan dengan kewajiban menutup aurat, Islam telah mengaturnya secara jelas. Seorang Muslimah wajib untuk memakai kerudung dan jilbab ketika beraktivitas di luar rumah. Kerudung/Jilbab adalah penutup aurat bagian atas, yakni yang menutupi kepala, rambut, hingga menjulur ke dada. Kewajiban memakai kerudung/jilbab bagi
Pihakpihak yang terlibat pemaksaan pemakain jilbab bagi siswi perlu diselesaikan secara terukur dan tuntas agar tidak ada lagi korban serupa. Mengenakan jilbab memang kewajiban setiap muslimah. Namun, bukan berarti setiap orang bisa memaksakannya kepada orang lain. Apalagi di sekolah negeri. Pendidikan mestinya bisa membebaskan umat manusia.
. Oleh Afiyah Rasyad Aktivis Peduli UmmatJagad media sosial kembali diguncang badai "identitas" seorang muslimah. Lagi-lagi jilbab dipertanyakan oleh pemjlik akun postingannya DW Indonesia mencoba mempertanyakan, "Apakah pemakaian jilbab tersebut atas pilihan anak itu sendiri?"Postingan berupa video itu dikuatkan oleh beberapa psikolog yang tampak berpihak pada DW Indonesia. Tentu saja hal ini mengundang kemarahan netizen karena bertindak sepihak. Bahkan, ketika DW menjawab beberapa komentar netizen dengan yang seolah bijaksana, justru tetap menjadi bulan-bulanan netizen."Pemakaian jilbab karena kesadaran, sebagai pilihan dan ekspresi penvarian jati diri, tanpa paksaan atau tekanan, patut dihormati dan dihargai." dw_indonesia gelora, 26/09/2020.Sungguh, jika dalam DW Indonesia jilbab hanyalah sebuah pilihan, dia salah besar. Cara pandang yang dimiliki DW bukan satu-satunya di negeri ini, bahkan di dunia. Jilbab yang dianggap sebagai pilihan atau bukan kewajiban seorang muslimah bagai bola liar yang menggelinding dalam lingkaran yang kental dalam benak kaum muslim saat ini menganggap bahwa jilbab sebatas pilihan belaka. Asas sekularisme sudah menjamin kemaksiyatan yang melanda. Pemisahan agama dari kehidupan terpampang nyata dengan pernyataan memilukan dan seringnya melecehkan ajaran muslim tak hanya dijauhkan dari jilbab, apakah di ranah domestik ataupun publik. Bahkan, dalam muamalah lainnya, kaum muslim dijaujkan dari agamanya, yakni ini pertentangan akan jilbab terus bergulir karena negara menerapkan ideologi kapitalisme yang berasas sekularisme. Berbeda halnya dengan negara yang menerapkan ideologi Islam dalam bingkai khilafah. Justru khilafah akan menciptakan suasana keimanan dan mendukung para ibu yang memberi keteladanan pada putrinya untuk mengenakan jilbab dan kerudung sejak usia terang benderang bahwa kerudung khimar dan jilbab gamis/jubah itu wajib atas muslimah. Allah SWT berfirman tentang wajibnya jilbab"Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." TQS. Al Ahzab 59Sementara firman Allah SWT tentang wajibnya kerudung khimar"... Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya ..." TQS An Nur 31Sungguh, jilbab dan kerudung adalah kewajiban yang tak bisa ditawar. Layaknya pakaian lain yang dikenakan pada balita, jilbab dan kerudung pun dipakaikan pada putrinya oleh seorang ibu yang taat syariat. Kerudung dan jilbab yang dipakaikan sejak dini akan memudahkan seorang ibu untuk putrinya kelak ketika dia mulai memahami kata-kata. Pembiasaan sejak dini disertai keteladanan merupakan konsekuensi keimanan seorang ibu kepada Allah dan kerudung adalah kewajiban bagi seorang muslimah yang sudah baligh. Namun, untuk anak yang belum baligh jika sudah berjilbab dan berkerudung, InsyaAllah pahala bagi kedua orang a'lam bish showab
Oleh Arifah Azkia Muslimah Influencer Mahasiswi Ekonom Syariah MuslimahTimes — Istri Presiden ke-4 RI Sinta Nuriyah bersama putrinya Inayah menyampaikan pernyataannya mengenai jilbab saat acara bersama Deddy Cobuzier yang diunggah ke YouTube pada Rabu, 15 Januari mengatakan bahwasannya perempuan muslim tidak wajib untuk memakai jilbab. Ia pun menyadari bahwa masih banyak orang yang keliru mengenai kata jilbab dan hijab. Ia mengakui bahwa setiap muslimah tidak wajib untuk mengenakan jilbab karena memang begitu adanya yang tertulis di Al Quran jika memaknainya dengan tepat. “Enggak juga semua muslimah harus memakai jilbab, kalau kita mengartikan ayat dalam Al Quran itu secara benar,” kata Sinta. Padahal sejatinya, Islam memiliki aturan yg kompleks dalam seluruh aspek kehidupan secara detail, tak terkecuali aturan atas seorang muslimah yang Allah ciptakan sebagai makhluk yang mulia nan istimewa. Sebagaimana di dalam Alquran telah di jelaskan di dalam ayat dan Hadits. Hukum kewajiban menutup aurat haruslah disandarkan berdasarkan nash syara’ dan pandangan fuqaha dalam kitab mu’tabar empat madzhab. Hijab, Jilbab, Khimar adalah beberapa kata yang berkaitan dengan aurat seorang muslimah. Namun, pada persetujuan masih banyak muslimah yang belum memahami bahwasannya pakaian syar’i bagi muslimah yakni khimar krudung dan Jilbab pakaian kurung sejenis gamis. Khimar atau Krudung . Menutup aurat pun bukan membungkus asal jadi saja. Allah telah memberikan petunjuk bagi kita muslimah menutup aurat seperti yang diperintahkan oleh hukum syara. Allah Ta’ala menyebutkan istilah khimar dalam firman-Nya وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ Katakanlah kepada wanita yang beriman “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang biasa nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menjulurkan khimar kedadanya…” QS. An Nuur 31 Allah telah memerintahkan muslimah untuk menutup rambut kita dengan memakai kerudung. Kerudung dalam bahasa arab adalah khimar bukan Jilbab. Hari ini, sebagian muslimah salah memahami kerudung dan jilbab. jadi kompilasi tentang jilbab maka yang ditunjuk adalah khimar Kerudung. Hal inilah yang perlu diluruskan kembali bahwasannya khimar, hijab, dan krudung adalah kain penutup aurat bagian kepala yang tidak menerawang dan menutupi dada. Sedangkan Jilbab adalah pakaian kurung sejenis gamis yang panjangnya bersambung hingga menutupi mata kaki. Jilbab Kewajiban mengenakan jilbab sebagai pakaian syar’i bagi muslimah telah di jelaskan di dalam firmannya secara gamblang يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ artinya Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. QS al-Ahzab [33] 59 Kainnya harus tebal dan tidak menerawang Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda tentang dua kelompok yang termasuk ahli neraka dan dia belum pernah melihat, ونساء كاسيات عاريات مميلات مائلات رءوسهن كأسنمة البخت المائلة لا يدخلن الجنة ولا يجدن ريحها وإن ريحها ليوجد من مسيرة كذا وكذا “Dua kelompok termasuk ahli neraka, aku belum pernah melihat, ada kaum yang memiliki cambuk seperti ekor sapi, mereka memukuli manusia dengan cambuknya dan wanita yang kasiyat berhasil tapi baik, baik yang suka memanjat pendek yang tidak menutup auratnya, mailat mumilat bergaya kompilasi berjalan, ingin membahas orang, kepala mereka seperti punuk onta. Mereka tidak masuk surga dan tidak mendapatkan baunya, padahal baunya didapati dengan perjalanan demikian. ” HR. Muslim 3971, Ahmad 8311 dan Imam Malik 1421 – lihat majalah Al Furqon Gresik Harus Longgar, Tidak Ketat Selain kain yang tebal dan tidak tipis, maka pakaian tersebut haruslah tidak ketat, sehingga tidak menampakkan bentuk tubuh wanita muslimah. Hal ini diberikan dalam hadits dari Usamah bin Zaid kompilasi ia diberikan baju Qubthiyah yang tebal oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam , ia menyediakan baju tersebut untuk diberikan. Ketika Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengetahuinya, beliau bersabda, مرْها فلتجعل تحتها غلالة فإني أخاف أن تصف حجم عظمها “Perintahkanlah ia agar mengenakan baju dalam di balik Qubthiyah itu, karena saya khawatir baju itu masih bisa memahami bentuk tubuh.” HR. Ad Dhiya Al Maqdisi, Ahmad dan Baihaqi dengan sanad hasan . Menutupi mata kaki Bila kaum laki-laki dilarang menjulurkan pakaian melebihi mata kaki, maka kaum wanita diberikan keringanan agar aurat mereka yang ada dibagian kaki dan betis tidak tersingkap dengan dibolehkan bahkan diwajibkan menjulurkan pakaiannya hingga menutupi kaki mereka. Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah mengomentari hadis ini “Ummu Salamah menanyakan hukum isbal tersebut untuk wanita karena mereka sangat perlu untuk isbal demi menutup aurat mereka sebab semua bagian kaki wanita adalah aurat. Hal ini juga ada dalam hadis Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma رَخَّصَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِأُمَّهَاتِ الْمُؤْمِنِينَ فِي الذَّيْلِ شِبْرًا، ثُمَّ اسْتَزَدْنَهُ فَزَادَهُنَّ شِبْرًا ، فَكُنَّ يُرْسِلْنَ إِلَيْنَا فَنَذْرَعُ لَهُنَّ ذِرَاعًا Artinya “Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam membolehkan ummahatul-mukminin pada ujung pakaian mereka untuk diperpanjang satu jengkal. Lalu mereka meminta panjangnya ditambah, maka beliau membolehkan mereka menambah satu jengkal lagi, sehingga dahulu mereka menyuruh utusan kekami untuk mengukur pakaian mereka, sehingga kamipun mengukur dengan memperpanjang bagi mereka satu hasta dua jengkal dari tengah betis”. HR Abu Daud 4119, shahih. Begitupun para ulama terkemuka sebagaimana Ibnu Katsir mengatakan bahwa jilbab adalah pakaian rangkap di atas kerudung serupa baju kurung sekarang . Ibnu Hazm berkata “Jilbab dalam bahasa Arab yang dideklarasikan oleh Nabi SAW, busana yang mendukung seluruh badan dan tidak hanya sebagiannya” . Dan Ibnu Mas’ud RA mendefinisikanakan pada jilbab seperti pakaian yang dipilih atau dipakai pakaian yang lapang yang digunakan oleh wanita-wanita Bahasa Arab terdiri dari tutup kepala yang memuat seluruh pakaian . Dalam kamus Bahasa Arab-Indonesia yang disusun oleh Al-Munawwir punmengartikan bahwa jilbab Adalah baju kurung Yang Panjang sejenis jubbah. Mengutip sebuah hadits dari Qoul Rasulullah mengenai aurat muka dan telapak tangan, “Wahai Asma Sesungguhnya wanita yang telah dibayar tidak layak terlihat dari ini dan ini …” wajah dan telapak tangan [HR. Abu Dawud, no. 3580] Maka dari sini sudah jelas bahwasannya menutup aurat dan kewajiban mengenakan jilbab dan khimar adalah suatu kewajiban sebagaimana penjelasan yang sangat gamblang dan tidak bisa dikompromikan atau ditafsirkan sendiri dan bahwasannya pemahaman yang benar bersumber dari rujukan sahih, bukan bersandar pada praktik orang terdahulu atau tokoh-tokoh tertentu. Rasulullah memerintahkan setiap muslimah keluar rumah dengan memakai jilbab, bahkan bila seorang muslimah tidak memiliki jilbab, maka sesama muslimah harus meminjamkan jilbabnya. Dari Ummu Athiyyah, bahwasannya Seorang wanita bertanya, “Wahai Rasulullah, seorang wanita di antara kami tidak memiliki jilbab bolehkan dia keluar?” Beliau menjawab, “Hendaklah kawannya meminjamkan jilbabnya untuk dipakai wanita tersebut.” HR. Bukhari no. 351 dan Muslim no. 890. Jilbab dan Khimar Kerudung adalah kewajiban. Maka hanya memakai kerudung saja, belum menggugurkan pakaian memakai jilbab pakaian kurung sejenis gamis. Ini juga bermakna bahwa Rasulullah sebagai kepala Negara turut mengatur bagaimana agar setiap muslimah menjalankan kewajiban menggunakan jilbab. Maka hal inilah juga merupakan konskuensi kita sebagai seorang muslim. Sangat berbeda halnya dengan kepemimpinan hari ini, yang mana rezim dengan sistem ala kapitalis liberalisnya sama sekali tidak mendorong pelaksanaan syariat akan tetapi malah menyuburkan dan membiarkan banyak opini nyeleneh yamg diangkat oleh melalui public figure untuk menyesatkan pehaman ummat sehingga terjadi boomerang yang sejatinya sudah di jelaskan gamblang terkait hukum kewajibannya di dalam Alquran sebagai Kalamullah yang haq. Sungguh kaum muslim sangat memerlukan adanya suatu pemimpin dan aturan negara yang berdiri diatas hukum syara’ dan menggunakan aturan Alquran, nash, dan sunnahnya yang menjadi sebuah konstitusi ummat yang menerapkan sistem islam dan hukum islam sebagaimana yang telah dijalankan Rasulullah dan khulafa’ur rasyidin sebagai pemimpin negara islam. Wallahu a’lam bissowab ..
Apakah memakai atau tidak memakai hijab itu pilihan yang bebas diambil oleh seorang muslimah? Ikuti kisah ketujuh perempuan ini yang mengemukakan alasan mereka melepaskan picture-alliance/NurPhoto
Aku perempuan Muslim berjilbab. Awal mula kukenakan pakaian tertutup ini adalah ketika aku bersekolah di SD Islam Terpadu. Bagi diriku saat itu, jilbab adalah wajib karena merupakan peraturan sekolah yang harus ditaati agar tidak dihukum guru. Di luar sekolah, aku tidak mengenakan jilbab. Beranjak remaja, dengan alasan menaati Tuhan dan takut dosa, kukenakan jilbab setiap ke luar rumah. Kulahap bacaan-bacaan tentang perintah berjilbab, keutamaan perempuan berjilbab dan menjaga izzah kehormatan, serta ancaman bagi perempuan yang tidak mengenakan jilbab. Seiring berjalannya waktu, berkat bacaanku, jilbab yang kupakai semakin lebar dan aku sempat mengenakan gamis. Kuhapus pula foto-foto yang menampilkan wajahku di media sosial, atas pengaruh kampanye anti-swafoto yang diluncurkan seorang ustaz yang aktif berdakwah di Twitter dan Facebook. Dulu, aku benar-benar termakan oleh propaganda mengerikan seputar jilbab. Aku masih ingat betul meme-meme viral di media sosial yang isinya menakut-nakuti perempuan yang tidak berjilbab. Salah satu ilustrasi yang melekat di kepalaku adalah gambar kartun jenazah perempuan dibalut kain kafan. Di bawahnya tertulis “Jangan sampai kain kafan menjadi jilbab pertama dan terakhirmu.” Tidak cukup menyasar perempuan yang tidak berjilbab, dakwah-dakwah media sosial tersebut juga bahkan mengintimidasi gaya perempuan berjilbab. Keluarlah wacana-wacana seperti jilboobs jilbab pendek yang tidak terjulur sampai menutupi bentuk payudara, berjilbab tapi tabarruj bersolek berlebihan agar dipuji orang lain, berjilbab mirip orang kafir berjilbab dengan gaya memakai ciput ninja, mirip biarawati, sampai berjilbab tapi telanjang berjilbab dengan celana atau kaus ketat. Baca juga Sebenarnya Kita Berproses Jadi Lebih Baik atau Sekadar Mabuk Berjilbab? Ada dua meme dakwah yang sangat kuingat. Pertama, soal “jilbab punuk unta” alias berjilbab dengan sanggul menonjol di belakang kepala. Di dalam ilustrasi tersebut disebutkan bahwa perempuan dengan gaya jilbab semacam itu tidak akan pernah mencium wangi surga. Kedua, meme yang menggambarkan hierarki dalam berjilbab yang diilustrasikan dengan beberapa anak tangga, masing-masing dengan gaya berpakaian berbeda-beda. Anak tangga paling bawah dipijak oleh perempuan tak berjilbab. Anak tangga kedua dari bawah dipijak perempuan ber-jilboobs. Selanjutnya ada perempuan dengan jilbab lebih lebar, dan seterusnya. Seperti apa pakaian perempuan di tangga paling atas? Tentu saja perempuan pemakai cadar yang hanya kelihatan garis matanya. Di bawah ilustrasi ini tertulis “Sudah sampai tahap mana proses hijrahmu?” Setiap ilustrasi atau konten-konten dakwah media sosial mengenai jilbab selalu merujuk pada dua ayat di dalam Alquran, yakni Al-Ahzab ayat 59 dan An-Nur ayat 31. Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya. Yang demikian itu membuat mereka lebih mudah dikenal, agar mereka tidak diganggu. Allah maha pengampun lagi maha penyayang Al Ahzab [33] 59. Sementara itu, di dalam surat An Nur diperjelas bahwa umat Muslim wajib menutup tubuhnya kecuali yang biasa tampak serta menjaga kemaluan berahi dari orang-orang yang bukan mahramnya. Mahram adalah sebutan bagi orang-orang yang diperbolehkan melihat bagian tubuh perempuan yang ditutup. Beberapa mahram di antaranya suami, ayah, ayah mertua, dan saudara laki-laki. Baca juga Jilbab, Hijab, Cadar, dan Niqab Memahami Kesejarahan Penutup Tubuh Perempuan Dua surat tersebut selalu menjadi senjata utama di dalam bacaan-bacaan populer tentang jilbab. Aku dulu sempat percaya bahwa memakai jilbab lebar atau yang dikenal dengan sebutan hijab syar’i adalah perintah absolut. Kalau dilanggar ya dosa besar. Sekalipun kita sudah berjilbab, tetapi kalau jilbabnya belum sampai menyapu lantai, ujung-ujungnya tetap bakal dilaknat. Masuk neraka. Titik. Tidak bisa ditawar. Seiring berjalannya waktu, jilbab lebar yang dulu digadang-gadang sesuai dengan syariat pun mulai populer. Jika semasa SMA jumlah perempuan bergamis dan berjilbab lebar di sekolahku dapat dihitung jari, kini perempuan berjilbab lebar telah menjamur di sana sini. Hijab model syar’i pun semakin banyak diproduksi dengan model yang semakin bervariasi. Lama kelamaan, aku merasa sebutan syar’i ini semakin mengalami komodifikasi. Slogan-slogan “Ayo berhjrah!” kerap diumbar di gerai-gerai penjual hijab model syar’i. Belum lagi slogan-slogan seperti “jilbab pakaian takwa”, “Muslimah sejati” dan “bidadari syurga” kerap digembar-gemborkan di acara televisi bertema Islami. Slogan tersebut tentu saja ditujukan untuk jilbab syar’i. Seolah-olah perempuan dengan jilbab selain itu bukanlah Muslimah sejati. Seolah-olah yang tidak berjilbab belum pantas menjadi calon penghuni surga. Jika kita tarik lebih jauh lagi, seolah-olah jilbab model syar’i saja yang bersifat syar’i sesuai syariat islam. Menyikapi hal ini, aku harus berterima kasih pada pemikiran para cendekiawan muslim kontemporer, di antaranya Sayyed Hossein Nasr dan Edi Akhiles. Kini, aku yang sudah dewasa, paham bahwa mengamalkan perintah Tuhan tidak hanya berlandaskan normativitas atau dalil naqliyahnya ayat suci. Perlu pula kutelaah sisi historis atau dalil aqliyahnya — akal, latar belakang suatu tempat, nilai yang dianut di suatu tempat. Sisi historis inilah yang kemudian mengantarkanku pada rasa penasaran terhadap asal muasal turunnya ayat suci asbabun nuzul, termasuk ayat perintah berjilbab. Kapan ayat itu diturunkan? Dalam keadaan apa Tuhan menurunkan ayat tersebut? Bagaimana korelasi pengaplikasian ayat tersebut dalam kehidupan masa kini di tempat kita tinggal? Baca juga Berjilbab atau Tidak, Terserah Masing-masing Pada akhirnya, kewajiban memahami dalil aqliyah membuatku sadar bahwa kitab suci bukanlah kitab desain baju meminjam istilah Edi Akhiles. Tuhan memang menurunkan perintah menjaga tubuh dan menutupnya aurat untuk kebaikan. Namun, kupikir Tuhan tidak akan semudah itu mengutuk perempuan-perempuan ber-jilboobs yang mungkin belum paham apa itu arti asbabun nuzul. Tuhan tidak pula se-baperan itu melaknat guru perempuan jilbaber berseragam Pegawai Negeri Sipil PNS atau praja berjilbab di Institut Pemerintahan dalam Negeri IPDN hanya karena tidak bisa mengenakan jilbab model syar’i sehari-hari. Aku masih memakai jilbab yang menutup dada. Namun sekarang, aku sampai pada kesimpulan bahwa fungsi jilbab sama seperti pakaian penutup tubuh yang lain. Punya kuasa apa aku menyebut jilbab sebagai pakaian takwa? Toh aku percaya, Tuhan menurunkan perintah berjilbab atas dasar cinta, bukan ancaman berembel-embel tiket masuk neraka. Post Views 212
Baca pembahasan sebelumnya Kata JIL Jilbab Bukan Kewajiban Namun Pilihan Bag. 1Masih melanjutkan beberapa kerancuan yang disuarakan oleh orang Liberal, terutama yang kami sanggah adalah kerancuan yang disampaikan Bu Musdah Mulia. Beliau adalah salah seorang tokoh JIL dan Ketua Lembaga Kajian Agama dan Jender LKAJ. Beliau memiliki beberapa pendapat yang aneh dan nyleneh mengenai jilbab yang perlu dijelaskan pada umat mengenai Bu Musdah juga mengemukakan kesimpulan dari Forum Pengkajian Islam UIN Sharif Hidayatullah tahun 1998 “Hukum Islam tidak menunjukkan batas aurat yang wajib ditutup, tetapi menyerahkan hal itu kepada masing-masing orang sesuai situasi, kondisi dan kebutuhan.”SanggahanIni juga pendapat beliau yang sama dengan sebelumnya. Kalau demikian adanya, maka berarti terserah kita menentukan manakah pakaian muslimah. Kalau di Arab pakai abaya dan hitam-hitam disertai cadar. Kalau di Indonesia, cukup kebaya. Kalau di Barat, tidak mengapa memakai pakaian renang. Apalagi di musim panas, cukup pakai celana pendek yang terlihat paha dan baju “u can see”. Karena semua dikembalikan pada individu masing-masing dan dilihat kondisi dan kebutuhan, tidak ada standar baku. Beda halnya jika yang jadi patokan adalah firman Allah dan sabda Rasul –shallallahu alaihi wa sallam-, maka jelas Beliau kembali berkata, “Jika teks-teks tentang jilbab tersebut dibaca dalam konteks sekarang, terlihat bahwa perempuan tidak perlu lagi memakai jilbab hanya sekadar agar mereka dikenali, atau mereka dibedakan dari perempuan yang berstatus budak, atau agar mereka tidak diganggu laki-laki jahat. Di masa sekarang, tidak ada lagi perbudakan, dan busana bukan ukuran untuk menetapkan identitas seseorang,” tandasnya Musdah juga mengatakan, “Jika perlindungan itu tidak dibutuhkan lagi karena sistem keamanan yang sudah sedemikian maju dan terjamin, tentu perempuan dapat memilih secara cerdas dan bebas apakah ia masih mau mengenakan jilbab atau tidak.”SanggahanYang beliau singgung di sini adalah surat Al Ahzab berikutيَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” QS. Al Ahzab 59Mari kita simak kalam ulama salaf mengenai tafsiran ayat di Sudi rahimahullah mengatakan, “Dahulu orang-orang fasik di Madinah biasa keluar di waktu malam ketika malam begitu gelap di jalan-jalan Madinah. Mereka ingin menghadang para wanita. Dahulu orang-orang miskin dari penduduk Madinah mengalami kesusahan. Jika malam tiba para wanita yang susah tadi keluar ke jalan-jalan untuk memenuhi hajat mereka. Para orang fasik sangat ingin menggoda para wanita tadi. Ketika mereka melihat para wanita yang mengenakan jilbab, mereka katakan, “Ini adalah wanita merdeka. Jangan sampai menggagunya.” Namun ketika mereka melihat para wanita yang tidak berjilbab, mereka katakan, “Ini adalah budak wanita. Mari kita menghadangnya.”Mujahid rahimahullah berkata, “Hendaklah para wanita mengenakan jilbab supaya diketahui manakah yang termasuk wanita merdeka. Jika ada wanita yang berjilbab, orang-orang yang fasik ketika bertemu dengannya tidak akan menyakitinya.”[1]Penjelasan para ulama di atas menerangkan firman Allah mengenai manfaat jilbab,ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ“Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal.” QS. Al Ahzab 59Asy Syaukani rahimahullah menerangkan, “Ayat yang artinya, ” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal”, bukanlah yang dimaksud supaya salah satu di antara mereka dikenal, yaitu siapa wanita itu. Namun yang dimaksudkan adalah supaya mereka dikenal, manakah yang sudah merdeka, manakah yang masih budak. Karena jika mereka mengenakan jilbab, itu berarti mereka mengenakan pakaian orang merdeka.”[2]Inilah yang membedakan manakah budak dan wanita merdeka dahulu. Hal ini menunjukkan bahwa wanita yang tidak berjilbab berarti masih menginginkan status dirinya sebagai budak. Bahkan Ibnu Katsir mengatakan bahwa jilbab bertujuan bukan hanya untuk membedakan dengan budak, bahkan dengan wanita jahiliyah.[3] Sehingga orang yang tidak berjilbab malah kembali ke zaman jahiliyah. Yang dimaksud zaman jahiliyah adalah masa sebelum diutusnya Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Disebut jahiliyah karena berada dalam zaman penuh kebodohan dan kesesatan sebagaimana disebutkan dalam kamus Al Mu’jam Al bandingkan, manakah yang lebih paham Qur’an, As Sudi dan Mujahid yang terkenal dengan keahliannya dalam ilmu tafsir dan juga Asy Syaukani yang tidak perlu lagi diragukan ilmunya, ataukah professor kemarin sore yang biasa memplintir ayat? Tentu saja yang kita ikuti adalah yang lebih salaf dari Bu Musdah Mulia. Seorang sahabat yang mulia, Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu berkata,مَنْ كَانَ مِنْكُمْ مُسْتَنًّا فَلْيَسْتَنَّ بِمَنْ قَدْ مَاتَ فَإِنَّ الْحَيَّ لَا تُؤْمَنُ عَلَيْهِ الْفِتْنَةُ“Siapa saja di antara kalian yang ingin mengikuti petunjuk, maka ambillah petunjuk dari orang-orang yang sudah mati. Karena orang yang masih hidup tidaklah aman dari fitnah.”[4] Benarlah kata Ibnu Mas’ud, lebih terfitnah lagi atau lebih rusak jika yang diambil perkataan adalah orang JIL yang muara logikanya tidak jelas dan tanpa pernah mau merujuk pada dalil atau perkataan ulama, maunya mengandalkan logikanya saja. Biar kita selamat, ambillah perkataan salaf daripada mengambil perkataan JIL yang logikanya mau dikatakan bahwa wanita muslimah tidak butuh identitas jilbab lagi untuk saat ini. Maka jawabnya, justru sangat butuh. Karena dengan jilbab seorang wanita lebih mudah dikenal, ia muslim ataukah bukan. Bahkan lebih mudah dikenal ia wanita baik-baik ataukah wanita nakal melalui Bu Musdah Mulia menganggap bahwa jilbab hanya bertujuan agar tidak diganggu laki-laki dan sekarang keamanan wanita sudah terjamin. Jawabnya, sudah terjamin dari mana? Justru kalau kita buat persentase, yang tidak berjilbab itu yang lebih banyak jadi korban perkosaan. Maka benarlah firman Allah,ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ“Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu.” QS. Al Ahzab 59. Kita bandingkan perkataan Bu Musdah dengan seorang ulama. Syaikh As Sa’di rahimahullah berkata, “Ayat di atas menunjukkan, orang yang tidak mengenakan jilbab akan lebih mudah digoda. Karena jika seorang wanita tidak berjilbab, maka orang-orang akan mengira bahwa ia bukanlah wanita afifaat wanita yang benar-benar menjaga diri atau kehormatannya. Akhirnya orang yang punya penyakit dalam hatinya muncul hal yang bukan-bukan, lantas mereka pun menyakitinya dan menganggapnya rendah seperti anggapan mereka itu budak. Akhirnya orang-orang yang ingin berlaku jelek merendahkannya.”[5] Apa yang disebutkan oleh Syaikh As Sa’di memang benar dan sesuai realita di … apa dengan alasan Bu Musdah seperti itu, jilbab mesti dilepas karena wanita sekarang tidak butuh identitas semacam itu? Silakan kita memilih, perkataan Bu Profesor ini lebih diikuti ataukah firman Allah, sabda Rasul dan perkataan ulama yang jelas lebih tinggi ilmunya dan pemahaman agamanya dibanding Ibu “Perempuan beriman tentu secara sadar akan memilih busana sederhana dan tidak berlebih-lebihan sehingga menimbulkan perhatian publik, dan yang pasti juga tidak untuk pamer riya”, ujar Bu Musdah bisa berjilbab disebut riya’? Aneh …Sebagaimana laki-laki jika ia diwajibkan shalat jama’ah di masjid, apa kita katakan ia riya’ jika pergi ke masjid? Jika seseorang ingin pergi shalat ied ke lapangan, apa juga disebut riya’?Jadi dengan alasan Bu Musdah, laki-laki tidak usah pergi ke masjid untuk berjama’ah. Begitu pula kita tidak perlu shalat ied di tanah lapang karena khawatir riya’.Justru kita katakan bahwa untuk amalan wajib yang harus ditampakkan, maka wajib Al-Izz bin Abdus Salam, amalan yang disyariatkan untuk ditampakkan seperti adzan, iqomat, ucapan takbir ketika shalat, membaca Qur’an secara jahr dalam shalat jahriyah Maghrib, Isya’ dan Shubuh, pen, ketika berkhutbah, amar ma’ruf nahi mungkar, mendirikan shalat jum’at dan shalat secara berjamaah, merayakan hari-hari ied, jihad, mengunjungi orang-orang yang sakit, dan mengantar jenazah, maka amalan semacam ini tidak mungkin disembunyikan. Jika pelaku amalan-amalan tersebut takut berbuat riya, maka hendaknya ia berusaha keras untuk menghilangkannya hingga dia bisa ikhlas dalam beramal. Sehingga dengan demikian dia akan mendapatkan pahala amalannya dan juga pahala karena kesungguhannya menghilangkan riya’ tadi, karena amalan-amalan ini maslahatnya juga untuk orang demikian, maka jilbab itu wajib ditampakkan dan itu bukanlah riya’. Bahkan kata Fudhail bin Iyadh,تَرْكُ الْعَمَلِ لِأَجْلِ النَّاسِ رِيَاءٌ وَالْعَمَلُ لِأَجْلِ النَّاسِ شِرْكٌ“Meninggalkan amalan karena manusia termasuk riya’. Melakukan amalan karena manusia termasuk syirik.”[6]Keenam Bu Musdah Mulia juga berkata, “Memakai jilbab bukanlah suatu kewajiban bagi perempuan Islam. Itu hanyalah ketentuan Al Qur’an bagi para istri dan anak-anak perempuan Nabi.”SanggahanBagaimana dikatakan jilbab hanya untuk anak dan istri nabi, sedangkan dalam ayat sudah dijelaskan pula secara terang bagi wanita beriman,يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin …” QS. Al Ahzab 59. Ayat hijab ini secara jelas menunjukkan perintah tersebut ditujukan pula untuk orang-orang beriman, namun terkhususkan pada istri dan anak Nabi.[7]Taruhlah jika perintah tersebut hanya untuk istri Nabi dan anak-anaknya. Kita dapat berikan jawaban bahwa jika untuk istri dan anak beliau saja diperintahkan untuk berjilbab padahal ada Nabi di sini mereka yang jelas mereka lebih terjaga dari gangguan, maka tentu wanita lainnya lebih pantas untuk menutup dirinya dengan jilbab. Lebih dari itu, jilbab adalah sebagai tanda kemulian istri dan anak Nabi[8]. Jadi, barangsiapa ingin mulia, berjilbablah dengan Beliau menyatakan pula, “Asbab nuzul ayat-ayat tentang perintah jilbab disimpulkan Musdah, bahwa jilbab lebih bernuansa ketentuan budaya ketimbang ajaran agama. Sebab, jika jilbab memang diterapkan untuk perlindungan atau meningkatkan prestige kaum perempuan beriman, maka dengan demikian dapatlah dianggap bahwa jilbab merupakan sesuatu yang lebih bernuansa budaya daripada bersifat religi.”SanggahanTidak sedikit komentar kaum penentang jilbab mengatakan, kalau jilbab adalah hasil adopsi budaya bangsa Arab. Sehingga menurut mereka, bangsa yang di luar Arab, tidak memiliki kewajiban untuk mengikuti budaya katakan jilbab adalah budaya Arab, maka kita mesti lihat sejarah Arab sebelum Islam itu datang. Kalau kita lihat penjelasan ulama, ternyata menunjukkan bahwa jilbab itu datang ketika Islam itu ada. Karena sebelumnya di zaman jahiliyah, wanita itu telanjang dada. Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan, “Perempuan pada zaman jahiliyah biasa melewati laki-laki dengan keadaan telanjang dada, tanpa ada kain sedikit pun. Kadang-kadang mereka memperlihatkan leher, rambut dan telinganya. Kemudian Allah akhirnya memerintahkan wanita beriman untuk menutupi diri dari hal-hal semacam tadi.”[9]Jelas sudah, kalau jilbab yang dianjurkan Islam beda jauh dengan budaya Arab. Lalu ada alasan lainkah yang mengatakan jilbab itu sebuah budaya Arab? Jika merujuk pada jilbab yang menutup aurat, jelas Islam lah yang dan hadits yang telah kami jelaskan di awal sudah menunjukkan bahwa jilbab adalah bukan budaya arab, namun ajaran Islam yang langsung diperintahkan oleh Allah. Ajaran Islam bersifat universal untuk orang Arab dan non Arab sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam”QS. Al Anbiya’ 107. Ibnu Jarir Ath Thobari berkata bahwa tidaklah Nabi Muhammad itu diutus melainkan sebagai rahmat bagi seluruh makhluk Allah yang beliau diutus kepadanya.[10]Demikian beberapa penjelasan sebagai sanggahan pada beberapa syubhat atau kerancuan yang biasa disampaikan orang-orang Liberal atau JIL. Moga Allah terus menguatkan iman kita dengan akidah dan pemahaman agama yang benar, serta menghindarkan kita dari pemahaman orang-orang yang tak tahu waliyyut taufiq. Ummul Hamam, Riyadh, KSA, 20 Rajab 1433 HPenulis Muhammad Abduh TuasikalArtikel Tafsir Al Qur’an Al Azhim, 11 243[2] Fathul Qodir, 6 79.[3] Lihat Tafsir Al Qur’an Al Azhim, 11 242.[4] Majmu’ Al Fatawa, 3 126.[5] Taisir Al Karimir Rahman, hal. 671[6] Majmu’ Al Fatawa, 23 174.[7] Lihat Tafsir Al Qur’an Al Azhim, 11 242[9] Tafsir Al Qur’an Al Azhim, 10 218.[10] Tafsir Ath Thobari, 16 439.
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. X pake jilbab bagi muslimah itu pilihanY salah, kewajiban donkX eh…pilihanY kewajibanX pilihanY kewajiban X pilihanY kewajiban X pilihanY kewajiban X pilihanY kewajiban X iiih...neh, contohnya di rumahku ada satu lemari kerudung, apakah wajib dipakai semuanya?Y ya dipilih donk, masa dipakai semuanya, emang situ ondel2?X nah, betulkan ...pake jilbab itu pilihan... Lihat Humor Selengkapnya
jilbab itu wajib bukan pilihan